oleh: ZULFIKAR “IJUL” HERMAWAN sumber: zenius
Untuk apa sih kita semua harus peduli ekosistem hutan? Semua konsekuensi dari kerusakan hutan terhadap manusia dibahas di sini.
Dari kecil, kita diajarin untuk peduli lingkungan. Mulai dari orang tua, guru, hingga buku teks sekolah menyerukan pesan tersebut. Katanya, kita ini pemimpin di bumi, jadi kita harus bisa merawat lingkungan. Ga berhenti sampe di situ, di kehidupan sehari-hari pun, sepertinya kita terus diajak untuk selalu memperhatikan lingkungan. Rasanya udah beberapa kali kita mendengar berbagai kampanye perlindungan lingkungan, salah satunya upaya perlindungan hutan. Tapi pernah ga sih terlintas di pikiran lu:
“Kenapa coba gue mesti peduli sama hutan? Kalo ada hutan yang rusak, ya biarin aja lah. Kan gue ga tinggal di hutan. Makanan nanem di kebon/sawah.. Kita juga ga berburu hewan di hutan. Toh udah ada peternakan.”
Kalo diterusin lagi, lu bisa aja terus skeptis:
“Ngapain gue harus peduli dengan hutan di Sumatra atau Kalimatan, toh gue tinggal di Jawa. Ngapain juga peduli sama kutub utara yang nun jauh di sono, padahal gue tinggal di Indonesia. Dan seterusnya, dan seterusnya.”
Nah, pada artikel ini, gue ingin mengajak lu semua menelusuri jawaban dari semua pertanyaan tersebut dengan mengambil satu contoh studi kasus skala “kecil”. Sebuah fenomena yang kayaknya bakal jadi pembicaraan di mana-mana selama beberapa bulan ke depan (Indonesia masuk musim hujan nih), yaitu banjir. Coba gue tanya:
Kenapa sih tiap musin hujan, banyak kota di Indonesia yang dilanda banjir?
Kalo lu masih jawab “Yaiyalah, karena curah hujan tinggi”, lu wajib banget baca artikel ini sampe habis, karena jawabannya ga sesimpel itu ?
Ayolah kita mulai aja ceritanya.
Empat Hukum Ekologi tentang Gimana Ekosistem Bekerja
Ada yang udah nonton film dokumenter terbarunya si om Leonardo di Caprio yang berkolaborasi dengan National Geographic, berjudul “Before The Flood”? Buat yang belom nonton, gue saranin nonton dulu deh, soalnya ada bagian ketika Leo berkunjung ke salah satu ekosistem rusak di Indonesia. Itu lho, pas Leonardo di Caprio sampe kena ancaman deportasi dari pemerintah Indonesia. ?
Bagi yang udah nonton, mungkin lu familiar dengan lukisan di bawah ini:
Lukisan yang dibuat pada abad 15 ini menggambarkan bagaimana dunia yang awalnya damai dan berada dalam kesetimbangan sebelum ada manusia, menjadi rusak akibat ulah manusia. Dan pada akhir lukisan digambarkan bagaimana manusia harus menanggung akibat dari ulah mereka sendiri dengan harus hidup dalam bumi yang tercemar dan rusak.
Untuk bisa memahami bagaimana aktivitas manusia bisa merusak stabilitas lingkungan (baca: ekosistem), penting banget untuk paham tentang empat hukum ekologi menurut Barry Commoner dalam bukunya “The Closing Circle”. Empat hukum ekologi tersebut adalah:
- Everything is connected to everything else
- Everything must go somewhere
- Nature knows best
- There is no such thing as a free lunch
“Hukum ekologi apaan itu? Kok ga ada saintifik-saintifiknya..” Hehe sebenernya hukum tersebut memang bukan hukum resmi yang ada di text book Ekologi sih. Tapi menurut gue empat hukum itu dapat menggambarkan dengan sederhana bagaimana ekosistem bekerja. Coba kita bahas satu per satu.
1. Everything is connected to everything else
(Segala sesuatunya terhubung satu dengan yang lainnya)
Hukum ini sebenernya penyederhanaan dari konsep ekologi yang udah lu pelajari sejak SMP:
Seluruh komponen dalam suatu ekosistem, baik faktor biotik maupun abiotik, saling berinteraksi satu sama lain dan membentuk ekosistem yang stabil. Interaksi ini kadang digambarkan melalui jaring makanan dan energi.
Terganggunya satu komponen dalam ekosistem dapat berdampak terhadap keseluruhan ekosistem. Contohnya:
- ketika manusia memusnahkan serigala yang dianggap mengganggu pemandangan dari Taman Nasional Yellow Stone (Amerika Serikat), dampaknya malah membuat keseluruhan ekosistem taman nasional ini collapse (rusak/runtuh).
- saat kita membuang sisa pupuk ke perairan, pupuk yang berisikan makro-nutrien bagi alga dapat membuat populasi alga meningkat tajam (alga bloom), yang akhirnya membuat organisme lain di perairan tersebut kalah saing dan akhirnya mati.
2. Everything must go somewhere
(Segala sesuatunya harus berakhir ke suatu tempat)
Alam tidak mengenal batas wilayah, apapun yang lu perbuat di suatu daerah akan berpengaruh ke daerah lainnya. Begitu juga dengan apa yang kalian buang. Limbah yang kalian buang pada dasarnya hanya memindahkan suatu pencemar ke tempat lain. Jika enggak diurus dengan tepat akan menimbulkan masalah baru di sana. Misalnya, ketika masyarakat membakar sampah untuk memusnahkannya secara fisik, sebenernya itu cuman memindahkan masalah dari pencemaran tanah ke pencemaran udara.
3. Nature knows the best
(Alam tau yang terbaik)
Alam, dalam hal ini ekosistem, sudah memiliki kestabilannya sendiri. Biasanya apa yang dilakukan manusia malah merusak kestabilan itu. Contohnya, saat manusia mengubah hutan hujan tropis menjadi lahan sawit. Keliatannya kayak baik kan? Kan lahan sawit lebih produktif buat manusia daripada hutan. Tapi.. saat itu sebenernya kita merusak kestabilan ekosistem hutan tersebut. Efek yang paling kerasa buat kita adalah terganggunya siklus air.
4. There is no such thing as free lunch
(Tidak ada yang gratis di dunia ini)
Maksudnya, di dunia ini, mulai dari membangkitkan energi listrik, membangun rumah, sampai menentukan apa yang kita makan hari ini, semua ada konsekuensi ekologisnya. Contohnya, ketika kita memutuskan untuk membangun villa di kawasan Puncak (Bogor), maka konsekuensi ekologisnya adalah kita akan memberikan “sedikit” kontribusi terhadap banjir di kawasan Jakarta.
<—>
Nah, dari keempat hukum tersebut, kita bisa lihat bahwa keempatnya saling beririsan dan berkaitan. Begitulah cara ekosistem bekerja, segala sesuatunya di alam selalu terkait antara satu dengan lainnya. Terlihat juga bahwa semua yang manusia lakukan pasti menyebabkan dampak lingkungan, baik besar maupun kecil. Nah, makanya sebelom kita melakukan sesuatu, harus ada kajian terhadap dampak lingkungannya terlebih dahulu, jadi kita bisa meminimalisasi dampak lingkungan yang bakal kita timbulkan. Gimana cara mengkajinya? Lanjut lagi bacanya.
Jasa Ekosistem yang Terlupakan
Sejak ribuan tahun lalu hingga sekarang, manusia udah banyak buanget melakukan modifikasi lingkungan untuk menghasilkan keuntungan langsung bagi manusia.. Biasanya dalam melakukan modifikasi lingkungan itu, manusia cuma melakukan perhitungan biaya produksi dan potensi keuntungan langsung yang bisa didapat.
Tapi ada satu hal yang sering banget dilupakan manusia! Kita lupa atau bahkan ga peduli untuk memperhitungkan ecosystem service (jasa lingkungan). Seakan-akan manusia mau menutup mata kalo kita tuh udah berhutang banyak banget ke alam. Jasa lingkungan ini meliputi hal yang sulit kita nilai dan sulit kita amati, seperti kesuburan tanah, kontrol serangga, kontrol erosi, polinasi, pengaturan stabilitas iklim, sumber daya air, dan siklus nutrien, dll. Fungsi-fungsi canggih ini biasanya baru “keliatan” saat kita udah terlanjur mengganggu ekosistem tersebut dan menimbulkan bencana, seperti perubahan iklim, banjir, eutrofikasi, dan lain-lain. Semua fungsi itu.. jika hilang, sulit atau bahkan enggak mungkin untuk diganti.
Karena banyak jasa ekosistem yang sulit untuk diamati, jasa ekosistem jarang sekali dimasukkan terhadap penghitungan ekonomi dalam aktivitas pembangunan. Efek dari hilangnya ekosistem ini sering dijadikan eksternalitas (externality). Tentunya perlakuan jasa ekosistem sebagai eksternalitas ini bakal ngerugiin masyarakat karena masyarakat lah yang akan menanggung kerugiannya. Contohnya gini. Saat suatu pengembang membangun perumahan di daerah hulu dengan cara membuka hutan, efek eksternalitasnya adalah orang-orang yang tinggal di bawahnya berpotensi untuk rugi karena kena banjir.
*Eksternalitas = Efek yang diakibatkan suatu aktivitas ekonomi kepada orang yang tidak berkaitan langsung dengan aktivitas ekonomi tersebut.
Pada tahun 2005, organisasi Millennium Ecosystem Assessment mencoba mengidentifikasi dan mengelompokkan jasa ekosistem berdasarkan hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Bisa lu lihat kalo jasa ekosistem tuh banyak dan hebat banget:
Konsekuensi Alih Fungsi Lahan (studi kasus banjir)
Populasi masyarakat Indonesia, sampai saat ini, masih terus bertambah. Artinya, makin banyak juga lahan yang dibutuhin untuk tempat tinggal, tempat kerja, dan tempat memproduksi makanan bagi masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dari tahun 1971 – 2014, populasi masyarakat Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat. Nah, lu bisa bayangin deh tuh, sebanyak apa lahan baru yang harus dibuka untuk menyediakan kebutuhan hidup masyarakat.
Perubahan fungsi lahan ini, kalo menurut empat hukum ekologi di atas, pasti akan memberikan dampak. Melakukan alih fungsi lahan berarti mengubah tatanan ekologi yang awalnya udah stabil. Dan efek dari perubahan ini bisa macem-macem. Contoh klasiknya adalah Banjir.
Menutup tahun 2016 aja (akhir tahun biasanya mengawali musim hujan di Indonesia), bencana banjir udah melanda beberapa kota di Indonesia, mulai dari banjir Garut, Bandung, Lamongan, dll (mungkin Jakarta tinggal menunggu waktunya :p).
Kenapa ya tiap musim hujan, banyak kota di Indonesia yang banjir? Kalo lu jawab karena curah hujan tinggi, wah kayaknya kita sebagai penduduk sebuah negara dengan iklim tropis sial banget ya. Kayak udah kutukan aja, curah hujan tinggi –> pasti banjir. Hahaha.. Bukaan. Bukan curah hujan tinggi doang penyebabnya.
1. Volume Air Limpasan Meningkat
Coba ingat lagi konsep yang udah kita pelajari dari SD: Hutan merupakan zona resapan air (Recharge zone).
Air hujan yang turun ke bumi akan diserap masuk ke tanah berkat bantuan akar-akar tumbuhan yang ada di hutan. Jika kita membabat hutan, ga ada yang nyerap dong. Sejumlah air hujan yang ga terserap masuk ke tanah dan malah jadi air permukaan disebut juga dengan aliran limpasan (runoff). Air limpasan akan mengalir terus ke daerah yang lebih rendah dan terakumulasi semakin banyak dan berpotensi bikin banjir.
Kalo kita babat hutan, kayaknya jelas ya, bakal banyak banget air hujan yang berubah jadi air limpasan yang bisa jadi banjir. Tapi gimana kalo hutannya diganti dengan perumahan? Gimana kalo gue ganti hutannya dengan kebon kopi, misalnya? Atau gimana kalo gue ganti hutannya jadi kuburan? Apakah tetap bakal banjir?
Nah, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, ada rumusan yang simpel banget nih, yaitu Rumus Rasional mengenai Aliran Limpasan:
Q = Debit Aliran Limpasan (Run Off);
C = Koefisien Limpasan (Run Off Coefficient);
A = Luas Area;
i = Curah hujan di area tersebut
Dengan menggunakan rumus di atas, untuk suatu daerah yang sama, kita bisa mengetahui berapa sih volume air limpasan jika daerah tersebut dialihfungsikan jadi macem-macem. Kalo kita anggap, nilai i dan A konstan, sebenernya yang perlu lu perhatikan adalah C (koefisien limpasan) yang nilainya berbeda-beda di setiap tata guna lahan. Nih ada tabel perbedaan nilai C dari beberapa guna lahan yang berbeda.
Nah, lu bisa liat nilai C dari hutan adalah 0.1 di tanah yang rata dan 0.2 di tanah yang miring. Nilai itu JAUH dibawah nilai C dari area pemukiman padat yang memiliki nilai C 0.7 di tanah datar dan 0.9 di tanah miring. Lu bisa bayangin tuh, gimana kalau lu mengubah hutan di area hulu (kita asumsiin aja tanahnya miring), kita harus bersiap menerima air limpasan sekitar 4,5x lipat dibandingkan saat area tersebut masih berupa hutan. Di sisi lain, kalo lu ngubah hutan jadi area perkebunan air limpasan akan naik sekitar 3x lipat.
Biar lebih kebayang, coba kita hitung pake angka deh. Misalnya aja ya:
“Di area Dago Atas (Bandung) yang berupa hutan dan bertanah miring, bakal dibangun perumahan padat penduduk. Jumlah area yang bakal diubah adalah sekitar 10Ha. Curah hujan di Bandung adalah sekitar 50mm/hari pada musim hujan ekstrim. “
Coba kita hitung berapa air yang menjadi air limpasan kalau kondisi masih hutan dan berapa air limpasan kalo udah jadi perumahan.
– Kondisi Masih Hutan
– Kondisi Menjadi Perumahan
Dari perhitungan di atas, kita udah bisa tau nih, kalo 10Ha aja hutan diganti jadi perumahan, maka rata-rata setiap hari saat musim hujan, kita dapet sekitar 3.500 air limpasan lebih banyak setiap harinya!
Disclaimer:
Penghitungan ini bukan penghitungan yang benar-benar akurat. Banyak faktor yang tidak dimasukkan dalam perhitungan ini, seperti evaporasi (penguapan). Perhitungan di atas sebenarnya cocoknya digunakan untuk menghitung jumlah air limpasan untuk daerah-daerah dengan luasan kecil dan waktu relatif pendek, di mana evaporasi bisa di asumsikan ga ada. Tapi menurut gue, perhitungan ini tetap berguna untuk memberi lu gambaran gimana kalo guna lahan berubah, kondisi air juga pasti berubah, dan berubahnya itu sesuai dengan berubah nya nilai C. Kalo mau dapetin angka tepatnya gimana untuk bisa memastikan banjir atau kagak, kita butuh melakukan permodelan-permodelan rumit (3 faktor diatas tetap masuk jadi faktor utama dalam model tersebut)
2. Sistem Drainase yang Kurang Baik
Nah, sampai di sini, sebenernya kita baru tau kalo alih fungsi lahan bisa meningkatkan jumlah air limpasan. Tapi kapan sih sebenernya banjir itu bisa terjadi? Jangan jawab pas lagi hujan ya!
Banjir itu terjadi saat sungai dan drainase di suatu daerah tidak bisa menampung jumlah aliran limpasan yang ada.
Selain membabat hutan, manusia juga sering mengeringkan ekosistem rawa-rawa, yang secara natural merupakan tempat menampung air, menjadi perkebunan dan perumahan ataupun kawasan industri. Ya jelas makin meningkatkan potensi banjir
Jadi kapan daerah Pasteur (Bandung) bisa banjir? Jawaban yang tepat adalah saat air dari aliran sungai (base flow sungai + air limpasan) tidak dapat tertampung oleh Sungai Citepus dan drainase-drainase yang ada di daerah Pasteur.
Dengan begitu, kalau mau memodelkan potensi banjir, lu ga bisa menggunakan curah hujan rata-rata bulanan atau bahkan harian. Data yang lu butuhkan adalah curah hujan setiap jam. Jadi lu bisa tau, kapan tepatnya (jam berapa) curah hujan paling besar dan berapa lama hujan akan berlangsung. Selanjutnya, lu bisa menghitung apakah drainase akan bisa menampung baseflow + air limpasan (runoff) saat itu.
Emangnya seberapa besar sih alih fungsi lahan yang terjadi di Bandung dan Garut itu? Coba liat foto hasil pengindraan jarak jauh ini (Sumber: DPLTKS)
Hasil Pencitraan Jarak Jauh – wilayah Bandung
Hasil Pencitraan Jarak Jauh – wilayah Garut
Keterangan:
Ungu = Penggunaan Lahan Rural (Rumah, jalan, gedung, dll)
Hijau = Tutupan vegetasi (daerah yang ditumbuhi tumbuhan)
*semakin berwarna tua, semakin rapat
Walapun sekilas terlihat perbedaannya tipis, kalo lu perhatikan lebih detil, banyak banget daerah hijau yang perlahan-lahan digantikan dengan warna ungu. Dengan kata lain, manusia udah mengubah hutan menjadi pemukiman di banyak tempat. Dan hasilnya yaaaa.. bisa kita liat sendiri lah ya gimana? Banjir ada di mana-mana. Fenomena ini cocok dengan hukum ekologi yang menyatakan “Everything most go to somewhere” dan “There is no such thing as free lunch”, yaitu saat kita melakukan sesuatu di hulu, efeknya bukan terasa di masyarakat hulu itu aja, tapi dampak paling ampasnya justru juga dirasakan masyarakat daerah hilir.
3. Fenomena La Nina
Sialnya, bencana banjir di Indonesia selama beberapa tahun terakhir semakin diperparah oleh sebuah fenomena alam.
Nah, lu masih inget tentang bencana kebakaran hutan dan kabut asap di Sumatra tahun lalu yang diperparah oleh fenomena El Nino? Buat lebih jelasnya, lu bisa lanjut baca tulisan gue sebelumnya: Kenapa sih Bencana Kabut Asap ini Ga Habis-habis?. Jika kebakaran hutan waktu itu diperparah oleh fenomena El Nino, sekarang bencana banjir diperparah oleh fenomena La Nina.
El Nino dan La Nina ini merupakan siklus anomali (penyimpangan) iklim yang terjadi di Samudra Pasifik. Keduanya itu merupakan pasangan yang saling berlawanan. Sederhananya, El Nino menyebabkan kekeringan di daerah Indonesia dan Australia sedangkan curah hujan tinggi di benua Amerika. Sebaliknya, La Nina menyebabkan kekeringan di benua Amerika sedangkan curah hujan yang sangat tinggi di Indonesia dan Australia. Siklus ini berlangsung dalam waktu sekitar 5 tahun atau 7 tahun sekali. Waktu efek El Nino atau pun La Nina dapat berlangsung sekitar 9 bulan sampai dengan 12 bulan. Namanya juga anomali, kadang agak sulit diprediksi.
Jadi, kalau kita review bencana banjir yang terjadi di Bandung dan Garut, kemungkinan besar disebabkan oleh kombinasi beberapa hal:
- banyaknya alih fungsi lahan dari area hutan menjadi area pemukiman, yang mengakibatkan meningkatnya air limpasan.
- banyaknya alih fungsi lahan pada ekosistem krusial bagi penampungan air, contohnya ekosistem rawa-rawa yang diubah menjadi pemukiman dan kawasan industri.
- fenomena alam, yaitu La Nina, yang meningkatkan curah hujan di Indonesia secara signifikan
Kalau begitu gimana cara supaya kita dapat meminimalisasi kemungkinan banjir?
Solusi yang paling tepat untuk mengatasi banjir menurut gue adalah:
1. Kembalikan ekosistem hutan yang ada di hulu.
Tapi langkah ini tampaknya udah susah banget dilakukan. Kalau kita bongkar perumahan-perumahan di daerah hulu, butuh modal berapa nih? Hahaha
2. Memperbesar saluran drainase kota.
Karena gue tinggal di Bandung, gue tau banget nih kota Bandung sekarang lagi berbenah urusan drainase. Contohnya aja, drainase di Dago yang dulunya gedenya ga sampe 1m x 1m sekarang di buat jadi 2m x 2m. Sayangnya drainase belom kelar, ujan deres gila-gilaan gara-gara La Nina udah dateng duluan.
3. Membenahi daerah aliran sungai sebagaimana semestinya.
Langkah ini termasuk menyingkirkan bangunan liar, mengeruk sedimen, dan membersihkan sampah. Intinya adalah membuat daya tampung sungai ga berkurang (kalo bisa malah diperbesar sih).
4. Membuat waduk dan kolam-kolam penampungan air saat volume air tidak tertampung lagi oleh sungai dan saluran drainase kota.
Langkah ini pada dasarnya berguna buat mengkompensasikan kelakuan manusia yang mengalihfungsikan lahan basah menjadi lahan yang katanya lebih produktif bagi manusia. Warga Bandung mungkin bisa sedikit seneng nih, karena katanya Pak Wali akan membangun kolam-kolam penampungan untuk menampung kelebihan air ini.
5. Memperbanyak ruang terbuka hijau, yang beneran terbuka dan hijau.
Maksudnya adalah ruangan terbuka yang memungkinkan menjadi tempat infiltrasi air sehingga air limpasan bisa masuk ke dalam sistem air tanah dan akhirnya mengurangi volume air limpasan itu sendiri. Percuma juga sebenernya kalo banyak taman kota tapi banyak betonnya. Enak sih buat main-main, tapi ga akan efektif untuk mengatasi banjir.
6. Jadilah warga negara yang baik.
Gampangnya mah kalo lu ga bisa ikutan ngebantu memecahkan masalah, minimal jangan ikutan nambahin masalah. Jangan buang sampah sembarangan, jangan bikin rumah sembarangan, jangan nutup jalur air, dll.
Contoh bencana banjir di atas masih contoh dalam skala “sempit”, di mana apa yang kita lakukan di hulu bisa berdampak ke hilir. Masih banyak contoh kerusakan ekosistem dalam skala yang lebih luas lagi. Contohnya, gimana penduduk Malaysia dan Singapur harus merasakan udara kotor akibat pembakaran hutan di pulau Sumatra. Contoh lain, gimana penduduk di pesisir Jawa dan Bali merasakan kerugian akibat permukaan air laut yang terus naik, akibat mencairnya es di kutub, akibat suhu bumi yang memanas, akibat eksploitasi penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit energi dan transportasi. Hehe panjang juga ya kalo dirunut-runut. Tapi semuanya masih mengikut 4 hukum ekologi yang gue jelasin di awal.
Oke deh, sampe di sini gue harap lu udah ngerti kenapa kita harus peduli dengan suatu ekosistem yang lokasinya bisa dibilang relatif jauh dari tempat kita tinggal. Semoga lu juga udah mulai bisa membayangkan bagaimana efek kerusakan ekosistem yang nun jauh di sana itu ternyata ujung-ujungnya bisa dirasakan dekat dan langsung di lingkungan sekitar tempat kita tinggal. Berhati-hati lah saat melakukan modifikasi ekosistem, karena semua selalu ada konsekuensinya.
Leave a Reply